Tugas Pendidikan Pancasila
Kondisi Indonesia Berdasarkan
Butir – Butir Pancasila
Butir – Butir Pancasila
Oleh :
Sitti
Isyqzamiyah Assambo
L1 A1 12 029
Kelas : A
L1 A1 12 029
Kelas : A
JURUSAN PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
2012
Kondisi Indonesia Berdasarkan Butir
– Butir Pancasila
Sungguh
sangat memprihatinkan kondisi kehidupan bangsa Indonesia yang mengalami
kemerosotan moral karena tidak konsekuen dalam komitmennya untuk menjadikan
Pancasila sebagai Dasar Negara dan pandangan hidup Bangsa. Sudah waktunya
kita merevitalisasi Pancasila dalam bentuk mendudukkan Pancasila menjadi hal
yang sangat penting, bukan hanya sebatas kalimat-kalimat emas yang sering
diungkapkan dalam bahasa retorika saja. Sudah waktunya seluruh bangsa Indonesia
baik itu elit politik maupun rakyat mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila.
Setiap sikap dan tindakan seyogyanya mengacu dan berpedoman pada nilai-nilai
Pancasila.
Pada tanggal 1 Juni 1945 Ir.
Soekarno menyampaikan pidato di depan Badan Penyelidik Usaha Persiapan
kemerdekaan (BPUPKI). Dalam pidatonya Ir. Soekarno menyampaikan konsep
dan rumusan awal Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia Merdeka. Tanggal 1
Juni itulah yang dianggap sebagai hari lahirnya Pancasila yang beberapa
tahun ini diperingati oleh bangsa Indonesia. Dalam momentum peringatan lahirnya
Pancasila sudah selayaknya bangsa Indonesia mengambil hikmah dan berupaya
merenungi tentang eksistensi Pancasila baik sebagai Dasar Negara maupun sebagai
“Way of Life” (Pandangan Hidup) Bangsa Indonesia.
Benarkah dan masihkah dewasa ini
bangsa Indonesia memposisikan Pancasila sebagai Dasar Negara dan sebagai
Pandangan Hidup (Way of Life) manusia yang mengaku sebagai rakyat
Indonesia? Pertanyaan tentang eksistensi Pancasila seperti ini mungkin
dipandang terlalu ekstrim dan menggelitik. Namun kalau menyimak kehidupan
sehari-hari baik dalam kehidupan bernegara maupun berbangsa belakangan,
pertanyaan semacam ini patut dimaklumi.
Betapa tidak? Bangsa Indonesia setiap hari di media massa disuguhi tontonan
bagaimana Pancasila itu sudah tidak dianggap penting lagi dan prilaku Bangsa
ini jauh dari nilai-nilai Pancasila, meskipun Pancasila tetap dianggap sebagai
Dasar dan Pandangan Hidup Bangsa Indonesia. Para elit politik saling bersilat
lidah dengan berbagai argumentasinya untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan,
tanpa etika yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila.
Mereka dengan enaknya
melakukan kebohongan publik yang dikemas melalui retorika-retorika
manis dan lembut. Segala cara dihalalkan untuk merebut dan mempertahankan
kekuasaan bagi mereka yang sedang berkuasa. Dan tidak ada yang diharamkan untuk
merongrong kekuasaan bagi mereka yang beroposisi. KKN (Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme) secara vulgar dan tanpa rasa malu dilakukan secara berjamaah
baik oleh eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Meskipun mereka
senantiasa mengusung dan mencanangkan program pemberantasan KKN tanpa pandang
bulu dalam setiap retorikanya. Mereka pun tidak malu lagi mengingkari sumpah
dan janji-janji manisnya yang diucapkan di masa kampanye dan ketika akan duduk
di kursi kekuasaan. KKN bukannya semakin berkurang melainkan tambah marak
dan mewabah di segala tingkatan. Uang hasil korupsi dianggap sebagai rezeki,
meskipun para pelaku KKN bisanya sudah bergaji besar, termasuk mendapatkan
remunerasi. KKN cenderung dianggap bukan sebagai tindak pidana dan perbuatan
tercela, uang hasil KKN dianggap rezeki.
Kehidupan di tingkat akar rumput tidak jauh berbeda dengan apa yang
dipertontonkan para elit yang menjadi teladan rakyat. Ibarat pepatah ”Guru kencing berdiri, murid kencing
berlari”. Para elit berpaling dari Pancasila sebagai Dasar Negara dan
Pandangan Hidup dalam setiap pengambilan kebijakan, tidak dapat dipersalahkan
bila rakyatnya meninggalkan Pancasila. Kenyataan yang berkembang di
masyarakat adalah memudarnya nilai-nilai Pancasila. Sikap dan tindakan yang
jauh dari nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan
Sosial bukan dianggap tabu, tetapi menjadi hal yang biasa. Tidak mengherankan
apabila aksi kekerasan bernuansa agama semakin marak. Kekerasan dan
kebrutalan yang tidak mengenal pri kemanusiaan menjadi tontonan sehari-hari.
Konflik horizontal yang bermuara SARA (Suku, Ras, Agama, Sosial), bahkan
perkelahian massal antar desa dan antar sekolah makin marak terjadi. Musyawarah
sudah jauh ditinggalkan, aksi penekanan lebih menonjol. Masyarakat yang
sejahtera, adil, dan makmur semakin jauh dari kenyataan .
Sikap dan tindakan dari para elit
dan masyarakat jauh dari nilai Pancasila, jauh dari nilai Ketuhanan,
Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial bukan dianggap
tabu, tetapi menjadi hal yang biasa.
Bahkan muncul suatu adagium dan
plesetan di kalangkan pinggiran. “Pancasila”
diplesetkan menjadi “Pancagila”
dengan menyimak dan memperhatikan dinamika kehidupan berbangsa, bernegara, dan
peristiwa serta berbagai kejadian di masyarakat.
Ketuhanan Yang Maha Esa
diplesetkan “Keuangan Yang Maha Kuasa”,
dengan alasan di Negara ini uang yang berkuasa, segala urusan pasti membutuhkan
uang. Bahkan muncul pameo apapun masalahnya pasti UUD (Ujung Ujungnya
Duit). Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab diplesetkan “Kemanusiaan yang jahil dan biadab” dengan alasan maraknya
kejahilan dan perbuatan biadab. Persatuan Indonesia, diplesetkan “Perseteruan Indonesia” dengan munculnya
berbagai konflik vertikal maupun horizontal di Indonesia. Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan diplesetkan
“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah dalam
persekongkolan perwakilan”, karena kebijakan yang diputuskan dalam bentuk
Undang Undang selama ini dinilai berdasarkan persekongkolan eksekutif,
legislatif dan yudikatif. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
diplesetkan “Keadilan sosial bagi
sebagian rakyat Indonesia”, karena kemajuan Indonesia selama ini hanya
dinikmati oleh sebagian masrakat Indonesia, khususnya para penguasa.
Butir -
butir Pancasila
Sungguh sangat memprihatinkan
kondisi kehidupan bangsa Indonesia yang mengalami kemerosotan moral karena
tidak konsekuen dalam komitmennya untuk menjadikan Pancasila sebagai Dasar
Negara dan Pandangan Hidup Bangsa. Sudah waktunya kita merevitalisasi Pancasila
dalam bentuk mendudukkan Pancasila menjadi hal yang sangat penting, bukan hanya
sebatas kalimat-kalimat emas yang sering diungkapkan dalam bahasa retorika
saja. Sudah waktunya seluruh bangsa Indonesia baik itu elit politik maupun
rakyat mengaktualisasikan nilai - nilai Pancasila. Setiap sikap dan tindakan
seyogyanya mengacu dan berpedoman pada nilai - nilai Pancasila.
Pertanyaanya, bagaimana secara
efektif kita dapat merevitalisasi dan mengaktualisasikan nilai - nilai
Pancasila, bukan hanya menghayati tetapi mengamalkan nilai Pancasila.
Himbauan dan ajakan untuk
merevitalisasi dan mengaktualisasikan nilai Pancasila sebetulnya sudah
disampaikan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat peringatan
Hari Lahirnya Pancasila 1 Juni 2011 lalu. SBY secara langsung sudah
menginstruksikan kepada Mendiknas dan Menteri terkait lainnya untuk segera
merumuskan dan menjalankan edukasi nilai- nilai Pancasila dengan metode paling
efektif. Bahkan Presiden RI sudah memberi arahan mengenai medianya apakah
melalui pengajaran formal, kegiatan ekstrakulikuler, Pramuka, atau melalui
wahana seni budaya yang dapat diikuti masyarakat luas. Tapi faktanya instruksi
SBY itu sama sekali tidak berbekas dan tidak ada tindak lanjutnya. Apakah
instruksi itu hanya sebatas retorika dan wacana saja, ataukah para Pembantu
Presiden itu memang “ndablek” menganggap remeh perintah Presidennya. Boro-boro para
Menteri itu mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila seperti yang diinstruksikan
atasannya, merumuskan nilai- - nilai Pancasilanya sendiri sama sekali belum
dilaksanakan.
Sebetulnya pemerintah tidak perlu
susah - susah merumuskan nilai - nilai Pancasila, karena memang sudah ada
referensinya dalam hal ini “P-4
dan Butir-butir nilai Pancasila” yang pernah digelorakan oleh BP-7
di era Soeharto lalu. Mungkin para Pembantu Presiden itu alergi dengan menyebut
Pancasila, apalagi menyebut butir-butir nilai Pancasila dan tidak mau dianggap
tidak reformis, sehingga enggan mengadopsi nilai-nilai yang dirumuskan oleh
BP-7. Lebih baik ndablek dan tidak menindaklanjuti instruksi Presiden untuk
merumuskan nilai-nilai Pancasila dan mensosialisasikannya kepada masyarakat,
khususnya generasi penerus.
Mengingat instruksinya tidak
dijalankan oleh para pembantunya, sudah selayaknya apabila SBY marah dan
mengambil alih apa yang dia instruksikan. Butir - butir nilai Pancasila
yang sudah dengan susah payah dirumuskan oleh BP-7 tinggal dikaji, dianalisa,
dikemas ,dan dirumuskan dalam bahasa kekinian yang lebih relevan dengan
semangat reformasi. Mengenai metode sosialisasinya, SBY tinggal memutuskan,
tentu saja dengan melalui mekanisme yang sudah ditentukan.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.tni.mil.id/view-37260-revitalisasi-dan-reaktualisasi-pancasila.html
0 komentar:
Posting Komentar